You are here
Resensi Buku Kisah Haru Biru Sang Pengoceh
Primary tabs
RESENSI BUKU
“KISAH HARU BIRU SANG PENGOCEH”
KARYA DANANG PAMUNGKAS (ALUMNUS PENDIDIKAN SOSIOLOGI FIS UNY)
Oleh : Gurindra Budi Prasetyo (Alumnus Pendidikan Sosiologi FIS UNY)
|
Judul Buku : Kisah Haru Biru Sang Pengoceh Pengarang Buku : Danang Pamungkas Penerbit Buku : Pataba Press Kota Terbit : Blora Tahun Terbit : Agustus, 2017 Tebal Buku : xvi + 184 halaman Jenis : Novel/ Fiksi
|
Menjadi tua itu pasti, dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Sebuah kata ajaib yang tak asing di telinga. Menggema ketika masa-masa orientasi dan pengenalan kampus. Pun sebagai penanda peralihan usia dan semakin besarnya tanggung jawab. Sematan predikat baru yakni mahasiswa menjadikan tanggung jawab intelektual semakin nyata adanya.
Itu pula yang dirasakan ketika membaca buku karangan Danang Pamungkas. Seolah membangkitkan kembali memori ketika menjadi mahasiswa. Ataupun pengingat bagi mereka yang akan menjadi mahasiswa. Danang bukan saja menghadirkan kehidupan kampus dengan segala cita rasa di dalamnya, lebih dari itu dia berhasil membikin perasaan teraduk bagi siapapun pembacanya. Untuk merenungi keberadaan di kampus yang singkat dengan tanggung jawab yang besar. Mengajak pembaca berpikir ulang akan tanggung jawab intelektual sebagai mahasiswa yang kini mulai pudar.
Danang menyajikan tulisan dalam buku ini dengan kemasan sederhana, orisinil, dan unik. Khas anak muda dengan bahasa yang ringan namun sarat makna. Tak luput dengan bumbu romansa dan pergalauan akan asmara. Memulai buku ini dengan peran sentral pada sosok bernama Mayong. Seorang pemuda lulusan SMA dari kampung yang memiliki mimpi dan harapan besar ketika menjadi mahasiswa. Mayong dikisahkan sebagai anak muda yang haus akan petualangan. Petualangan dalam menemukan jati diri sebagai seorang agen perubahan. Aktivisme tersebut diwujudkan dalam keterlibatan Mayong dalam berbagai diskusi dan organisasi.
Sebagai seorang pemuda sekaligus mahasiswa Mayong ditampilkan sebagai figur yang kritis. Terlihat pada obrolan yang selalu menyisipkan argumen dari tokoh seperti Karl Marx, Soekarno, Paulo Freire dan Pramoedya Ananta Toer pada tiap baris paragrafnya. Tajamnya pemikiran Mayong tak lepas dari wawasan penulis. Senada seperti yang diungkapkan Soesilo Toer dalam kata pengantar menyebutkan jika Danang terlihat banyak membaca buku, yang nyata terlihat dari banyaknya tokoh dan sitiran kata-kata dari tokoh yang digunakan.
Nampak jelas Mayong mengusung pemikiran tentang resistensi dan pembebasan. Sebagai bentuk kritisme terhadap kehidupan kampus. Dimana kehidupan mahasiswa kini berbanding terbalik dengan masa silam. Perjuangan terhadap kemanusian yang dulu menjadi dasar akan pergerakan mahasiswa. Meskipun masih ada segelintir mahasiswa dengan ideliasme serupa di era modern ini. Namun kini mahasiswa mendewakan nilai akademik dan mengabaikan kehidupan sosial. Seperti dalam kutipan paragraf ketika Mayong mengungkapkan kegelisahan akan kehidupan kampusnya,
“…., kita ditundukkan semenjak nilai kuliah menjadi Tuhan yang abadi. Semua berorientasi kepada nilai bagus dan IPK tinggi, mereka tak pernah belajar untuk berpraksis sosial ataupun melakukan riset penelitian (halaman 101)”
Mayong yang selalu menggebu dan bergejolak ketika menjadi aktivispun memiliki sisi romantis. Buku ini tidak melulu serius namun juga diselingi dengan kehidupan asmara Mayong. Tidak bisa dipungkiri sisi sentimental Mayong pun terurai apik dalam buku ini. Perjalanan cintanya yang berliku tertuang dalam paragraf,
“Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah menyianyiakan seseorang yang sangat mencintaiku. Kehidupan asmaraku gersang akan kenangan indah. Kepahitan selalu kuterima akibat ulahku yang selalu serius dengan kehidupan organisasi (halaman 130)”
Sebagai penulis Danang berhasil memainkan perasaan pembaca. Terlebih bagi pembaca mahasiswa yang risau akan hakikat kemahasiswaanya. Untuk melihat dinamika kehidupan mahasiswa yang seringkali tak sesuai ekspektasi. Terangkum apik dengan orisinalitas khas Danang. Namun sebaik-baiknya penulis pun manusia yang memiliki kekurangan. Danang menampilkan sisi Mayong sebagai mahasiswa yang tidak pernah puas. Sebagai individu Mayong yang tidak menemukan bahagia dalam hidup. Pembaca akan disuguhi kehidupan yang cenderung abu-abu dan tanpa warna. Proletar, subordinasi dan terasing menurut sudut pandang Mayong pun kiranya tak relevan lagi dengan kehidupan mahasiswa kini.
Sekali lagi untuk menikmati Mayong tidak bisa hanya sepotong. Sebab Mayong harus dinikmati secara utuh. Serta tidak lupa bahwa inipun bukti dedikasi tinggi Danang Pamungkas sebagai alumni. Kritismenya dalam pendidkan tidak selalu dalam bentuk karya akademik. Buku ini pun menjadi salah satu jalan untuk tetap berkontribusi dalam mewujudkan pendidikan yang berkeadilan.
Link Terkait
Sistem Informasi
Kontak Kami
Channel Dilogi
Podcast Dilogi
Copyright © 2024,